Kamis, 15 April 2010

SEJARAH PERS INDONESIA

BEBERAPA hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang yakni Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605 koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti "Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Di masa itulah koran dipakai alat untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan tugasnya. Dalam masa klas pertama di tahun 1947, pers kita terbagi dua. Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda, golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil dengan perwajahan yang sangat sederhana.
Pemberedelan pertama
Kondisi pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, lantaran beritanya melulu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan barang seharipun dalam mengikuti berita perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya. Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang. Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Mengikuti berita surat kabar di masa itu, memang mengasyikkan dan sekaligus mendebarkan. Dari hari ke hari beritanya silih berganti, dari pertempuran dan perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka. Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut luapan gembira, namun di bulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai ribuan rakyat dan para pejuang kita serta membumihanguskan kota Surabaya. Di tahun 1946 rakyat kita telah memperingati hari proklamasi dengan sangat meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember. Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Berita yang menggembirakan tahun 1948 adalah diselenggarakannya Pesta Pekan Olahraga Nasional pertama di Solo secara meriah pada tanggal 9 September. Namun berita-berita PON itu tiba-tiba sirna oleh terjadinya Peristiwa Madiun pada tanggal 18 September di kota yang sama. Memasuki tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri (komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran. Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu fihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Hubungan pemerintah dan pers
Pada tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11 Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856, persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers, penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali. Di saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun aspek politisnya.
Dalam UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19 tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran, persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik, maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para pengelola surat kabar.
Upaya di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat. Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah. Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu, Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis, dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi, psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".

Sejarah Pers Sumbar Dialih Orang Lalu
Semenjak tanggal 1 Januari dan rencananya hingga 31 Desember 2007
setiap hari menerbitkan semacam kilas balik perjalanan sejarah pers
nasional. Dan dua kegiatan itu menjadi gong yang ditalu dengan
nyaring oleh hoofdredacteur-nya yang paling gemilang di kurun itu:
Raden Mas Tirto Adhi Surjo. Sepanjang pembacaan saya terhadap sejarah pers (dan
pers juga identik dengan penerbitan), dan juga hasil bacaan saya
terhadap disertasi Sudarmoko yang dipertahankannya di Universitas
Leiden, Belanda (2005) dan beberapa artikel Suryadi yang juga mengajar
di Universitas Leiden, mengesankan, semenjak abad-19, pertumbuhan surat
kabar dan dunia penerbitan di Minangkabau (Sumatra Barat) sangat
signifikans.Minangkabau memang merupakan kota pers tertua di Sumatra, dan termasuk kota Indonesia yang awal mengenal surat kabar. “Ketika di tempat lain di pulau ini orang baru mengenal naskah (manuscript) beraksara Jawi yang berisi sastra pagan,
di Padang orang (Minangkabau) sudah membolak-balik halaman kertas lebar
bernama surat kabar yang berisi informasi dari luar dunia lokalnya,”
tulis Suryadi (lihat di http://www.ranah-minang.com).Dari catatan sejarah dan tarikh keberadaan dunia pers di Sumatra Barat, tampaknya, kehadiran surat kabar Medan Prijaji (1907) yang lahir di Bandung (Jawa Barat) masih muda dibanding surat-surat
kabar yang sudah terbit di Minangkabau sebelumnya. Dan kita tidak mengetahui pula, siapa atau lembaga apa yang memutuskan dan melegetimasi satu abad pers di Indonesia ini dimulai hitungan tahun 1907? Selanjutnya, di mana suara sejarahwan Sumatra Barat
yang jumlahnya tidak sedikit itu: Apa sesungguhnya yang terjadi di
negeri ini, sehingga fakta sejarah bisa saja diubah dan diklaim sesuka
hati?
Berteriaklah kita sekuat tenaga, bahwa pada
pertengahan abad-19 orang Minanglabau sudah baca koran, dan banyak
surat kabar yang terbit di sini, dan lain sebagainya, jelas tak ada
gunanya.
Para sejarahwan yang bertebaran di Unand dan UNP, dan di perguruan
tinggi di kota-kota lainnya, yang diharapkan bisa menjelaskan duduk
perkara fakta sejarah ini, tampaknya lebih tertarik menyelesaikan
proyek penelitiannya yang tidak akan pernah habis-habisnya.

Diterbitkan di: Oktober 13, 2007
HARIAN Jurnal Nasional yang terbit di Jakarta,

Sejarah
Sejarah pembredelan koran soetra oemoem di suraba- ya oleh belanda. isinya dianggap menghasut. peme- rintah punya kuasa mencabut ijin penerbitan jika mengganggu ketertiban umum.
HARI ini, hampir 60 tahun yang lalu. Pada tanggal 23 Juni 1933, Gubernur Jenderal De Jonge menurunkan satu perintah: koran Soeara Oemoem di Surabaya dibredel. Seorang wartawan bernama Tjindar Boemi lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap "menghasut".

Yang menarik ialah bahwa tindakan itu tidak terjadi mendadak. Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian Pengembangan Penerangan Deppen pada tahun 1980, disebutkan bagaimana titah Gubernur Jenderal itu bermula dari laporan Procureur Generaal pada tanggal 10 Februari 1933.

Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan Tjindar Boemi. Juga untuk "mendengar keterangan" dari pimpinan Soeara Oemoem, dr. Soetomo, dan menyuruhnya "menandatangani pernyataan setia".

Ternyata, di zaman kolonial itu, perintah macam itu tak bisa dengan serta-merta efektif. Pada tanggal 3 Maret, Raad van Indie, semacam dewan perwakilan masa itu, menyatakan tak setuju bila dr. Soetomo harus menandatangani pernyataan setia. Raad van Indie menyarankan tindakan terhadap dr. Soetomo "ditunggu saja" sampai pemeriksaan terhadap Tjindar Boemi selesai.

Menghadapi reaksi ini, pihak Procureur Generaal meminta Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi di Hindia Belanda waktu itu, menerapkan peraturan pembredelan pers atau Persbreidel Ordonnantie. Tak lupa, di dalam saran itu disertakan kutipan dari sebuah tulisan di Soeara Oemoem yang dinilai "bisa mengganggu ketertiban umum".

Empat hari kemudian, Raad van Indie akhirnya juga menyarankan agar peraturan pembredelan pers itu dikenakan terhadap koran yang dipimpin dr. Soetomo. Maka, dibredellah Soeara Oemoem.

Penting rasanya untuk disebut bahwa pembredelan hanya bisa berlangsung selama delapan hari. Pasal 2 dari Persbreidel Ordonnantie menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal berhak melarang pencetakan, penerbitan, dan penyebaran sebuah surat kabar paling lama delapan hari. Jika sesudah terbit koran itu masih dinilai mengganggu "ketertiban umum", larangan terbit bisa jadi lebih lama, tapi tidak lebih lama dari 30 hari berturut-turut.

Zaman itu tampaknya memang zaman yang keras bagi pers, tetapi bukan suatu masa yang kacau kepastian. Buku sejarah yang diterbitkan oleh proyek penelitian dan pengembangan Deppen itu menegaskan hal itu, "Dengan adanya ketentuan itu, maka pihak surat kabar yang terkena tidak menunggu-nunggu tak menentu ...."

Larangan terbit yang mendadak-sontak juga tak ada. "Paling tidak," tulis buku yang redakturnya adalah Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo itu pula, "tidak dilakukan begitu saja ... seperti geledek di siang bolong."

Dengan jelas buku itu bahkan menyebutkan bahwa prosedur di zaman De Jonge lebih "rapi" daripada "yang terjadi sekarang" -- meskipun penilaian bahwa tulisan-tulisan tertentu "mengganggu ketertiban umum" sangat sepihak sifatnya. Semuanya, tulis buku sejarah itu, "hanya dilakukan oleh pihak penguasa dan tidak adanya kesempatan membela diri".

Hari ini, sekitar 60 tahun yang lampau, mungkin bukan hari yang baik untuk belajar dari sejarah. Atau mungkin setiap generasi mempunyai pukulan-pukulannya sendiri. September 1957, ada 10 surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup.

Tetapi pembredelan yang luas yang pertama kalinya terjadi dalam sejarah pers Indonesia itu -- dilakukan oleh penguasa militer Jakarta Raya -- hanya berlangsung selama 23 jam.

Betapapun, suatu babak baru tampaknya telah mulai: ada yang mencicipi enaknya dan ada yang mencicipi pahitnya. Pada 1 Oktober 1958 apa yang pernah berlaku di zaman penjajahan fasisme Jepang diberlakukan lagi di zaman kemerdekaan: setiap penerbitan harus mempunyai Surat Izin Terbit (SIT). Sebuah buku, Garis Perkembangan Pers Indonesia, yang diterbitkan oleh Serikat Penerbit Suratkabar pada tahun 1971 menyebut hal itu dengan muram, "Sejak 1 Oktober 1958, Sejarah Pers Indonesia memasuki periode hitam."

"Tanggal 1 Oktober 1958," tulis buku itu, "dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers di Indonesia. Surat kabar yang masih terbit sesudah itu harus mengikuti kehendak penguasa. Setiap waktu SIT dapat dicabut oleh Penguasa .... Sejak itu pers Indonesia bukan lagi sebagai salah satu lembaga demokrasi ...."

Agaknya begitulah. Tanggal 24 Februari 1965, Menteri Penerangan membredel serentak 21 surat kabar. Alasan: mereka dituduh bersimpati kepada sesuatu yang terlarang, yakni "Badan Pendukung Sukarnoisme", sebuah organisasi yang menentang PKI. Dengan kata lain: mereka tidak sejalan dengan kehendak yang berkuasa. Mereka telah bersikap (untuk memakai tuduhan yang secara sepihak sering dilontarkan waktu itu) "kontrarevolusioner". Mereka harus "dibabat".

Tidak ada lagi kepastian. Tidak ada lagi hak, bahkan untuk membeli diri. Sekian puluh tahun yang lalu, sekian puluh tahun kemudian ....

Studi Pers Indonesia Kontemporer

STUDI atas pers Indonesia boleh dikata masih sedikit. Untuk melihat faktanya, tidak pasti setahun sekali ada satu terbitan yang mengupas secara serius tentang Pers Indonesia. Yang lebih sering muncul merupakan kumpulan tulisan tentang pers atau biografi seorang jurnalis Indonesia. Menyebut yang paling akhir sekali, boleh disebut nama David T. Hill (1994), atau sebelumnya ada Harsono Suwardi (1993), Bambang Sadono (1993), Daniel Dhakidae (1991) -(tidak/belum? dipublikasikan); Francois Raillon (1985); Amir Effendi Siregar (1983), Edward C. Smith (1983) Oey Hong Lee (1971). Dan tak dapat dilupakan lupa karya Tribuana Said (1988) yang mengisi kekosongan literatur tentang sejarah pers Indonesia, sementara karya Ahmat Adam (1984 & 1993) belum banyak bisa diakses publik. Semua yang terbit di atas banyak memberikan tekanan pada perkembangan pers Indonesia setelah kemerdekaan 1945. Kecuali Edward Smith, Ahmat Adam dan Oey Hong Lee, seluruhnya memfokuskan diri pada periode pers Indonesia pada masa Orde Baru.

Apakah arti penting studi atas diri pers Indonesia ini?Berefleksi Menilai Diri Studi yang dilangsungkan pada obyek studi apa pun tak ada korelasi langsung dengan perkembangan obyeknya itu sendiri. Penelaahan masuk ke masalah obyek lewat seperangkat metodologi, tidak dengan sendirinya menggeser arti ontologis obyek tersebut, yang dalam hal ini ada pers Indonesia. Tetapi ini tidak mengurangi arti penting perlunya suatu kajian atas diri pers Indonesia. Studi selain sebagai suatu cara pandang melihat masalah, bisa juga jadi bahan refleksi mendalam bagi obyek tersebut.

Sadar tak sadar, media adalah pembuat realitas ke hadapan pemirsanya. Ialah yang mengkreasi simbol-simbol, atau membahasakan realitas yang ditangkapnya dan menuangkannya dalam rangkaian berita dan bahasa foto. Sadar atau tidak hal ini menghasilkan suatu ideologi tertentu di dalam produksi teks-teksnya. Thamrin Amal Tomagola (1990) misalnya membedah ideologi dari majalah wanita dan memerinci diskursus yang berlangsung di dalamnya. Studi terhadap diri pers ini, adalah suatu kritik intern ataupun ekstern atas kehadiran lembaga pers di tengah masyarakat, yang juga bersinggungan dengan hal kekuasaan, dalam pengertian yang luas. Dengan merunut sejumlah karya yang telah disebutkan di atas, rasanya masih bisa dilihat banyak lubang-lubang jika kita ingin merekonstruksi kisah tentang pers Indonesia ini. Dan sayang sekali misalnya, karya almarhum Abdurrachman Surjomihardjo dan kawan-kawan, tak sempat berbuah lebih banyak, karena karya asalnya sendiri kini tak dapat diakses publik untuk suatu alasan politis di masa lalu (awal 80-an) Padahal karya yang berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Indonesia (kerja sama LIPI dan Deppen) belumlah tuntas dalam memetakan sejarah pers Indonesia, atau dahulu bisa disebut sebagai Pers Hindia Belanda. Dan masih banyak pekerjaan rumah sebenarnya, yang ditinggalkan oleh buku tersebut. Misalnya saja sejauh ini tak banyak orang menuliskan studi tentang pers daerah, atau pers di Indonesia Timur.

Atau meminjam sebutan David Hill, banyak pers pinggiran (Marginal Presses) saat ini, yang sering luput dari perhatian pemerhati studi pers Indonesia, yaitu publikasi khusus atau pers STT, Pers Mahasiswa, Pers Lokal Berbahasa Indonesia, Pers Lokal Berbahasa Daerah, Pers Islam, Pers Berbahasa Inggris, dan Pers Berbahasa Tionghoa. Bibliografi tentang Pers Indonesia pun saat ini hanya diwakili oleh dua karya, yaitu Mastini Hardjoprakoso (1978, serial Asian Mass Communication Research and Information Centre) dan Evert-Jan Hoogerwerf (1990 dalam proyek KITLV). Penyusunan koleksi surat kabar di dalam negeri hanya diwakili oleh karya Mastini Hardjoprakoso (1984)."HB Jassin" untuk Pers Beruntunglah dunia sastra yang memiliki seorang HB Jassin dan kini karyanya sudah melembaga sebagai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Apakah ada yang punya perhatian serupa untuk dunia pers, dan membangun suatu lembaga yang serius untuk itu? Mengutipkan pendapat HB Jassin sendiri (Pamusuk Eneste, 1987), "Bagi saya pekerjaan dokumentasi ini telah memberikan semangat dan kegembiraan karena telah membuahkan hasil-hasil studi berupa pembicaraan dan kritik sastra, antologi dan kompilasi..." Dan selanjutnya ia menambahkan,

"Dengan adanya dokumentasi kita menjadi kenal masalah-masalah, kita juga menjadi kenal sejarah, latar belakang dan para pengarang sastra. Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam dan memperluasnya." Dengan memperhatikan segala kritik yang ditujukan kepada Jassin, serta dengan mempertimbangkan distingsi dunia sastra dan pers, maka hendak dikatakan di sini bahwa dokumentasi untuk pers adalah mutlak, dan untuk itu perlu ada suatu lembaga khusus yang menangani hal itu. Dan dari situ bisa dimulai suatu studi yang serius atas diri pers Indonesia. Persoalan pers Indonesia pun tak semata soal teks-teksnya, soal kode etik, efek pemberitaan, kaitan dengan pembangunan, tapi juga dapat meluas dalam pandangan relasinya dengan kelembagaan ataupun bidang lain dalam hidup manusia ini. Satu yang telah disebut di depan misalnya, bagaimana media massa membentuk realitas yang akhirnya ditangkap oleh pemirsanya. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah meninjau ulang paradigma pembangunan yang sekarang ini dominan dalam pers. Perubahan paradigma pembangunan yang ada sekarang, serta juga bagaimana media merefleksikan fakta di lapangan yang bisa mendukung atau menolak paradigma dominan tersebut (Everett Rogers ed, 1985).

Yang tak kurang disentuh oleh banyak orang adalah biografi kritis dari sejumlah tokoh pers masa kini. Orang-orang seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, A. Azia, BM Diah, SK Trimurti, Ani Loebis, Herawati Diah, dan terakhir Toeti Azis, telah dibuatkan biografi atas diri mereka masing-masing. Tetapi semuanya masih merupakan kisah para jurnalis dalam periode pers masa revolusi kemerdekaan, dan dengan demikian kental juga dunia politik atas diri mereka masing-masing. Namun tepat itu yang ditunjuk oleh Daniel Dhakidae (1991), bahwa saat ini sudah selesai jurnalisme politik, dan selamat datang industri jurnalisme. Hal ini belum tercerminkan dalam biografi dari sejumlah "jurnalis masa kini". Kemajuan-kemajuan pers yang terjadi saat ini, berikut juga dengan kemundurannya hanya akan terlihat ketika pendokumentasian kita cukup lengkap untuk itu. Dan itu misalnya bisa dipakai untuk menilai bagaimana penanganan kekuasaan terhadap diri pers masa kini. Dengan demikian studi yang serius untuk soal pers Indonesia adalah suatu agenda yang terlupa saat kini. Padahal kritik ke dalam, refleksi diri, sambil mencatatkan pertumbuhan dan perkembangan pers masa kini akan menghasilkan manfaat bagi banyak orang karenanya. Jangan-jangan kita kembali lompat terlalu jauh dalam media habbit ini, melompat ke media elektronik dan asyik bergumul di sana, dan lupa bahwa media cetak punya agenda banyak yang belum tuntas dipermasalahkan.

1 komentar:

  1. The Best Casinos in USA - APRCasino
    It is one of worrione.com the most well-known casino casinos, and it is owned and https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ operated by the bsjeon.net Rincon Band of aprcasino Luiseno Indians. There are over 100 different wooricasinos.info

    BalasHapus